gravatar

CERITA DEWASA : MENIKAH TANPA CINTA MEMBUATKU MERANA

 
Pembaca yang budiman. Kata temanku, aku wanita manis dan seksi, dinikahkan saat baru selesai kuliah D3 di salah satu perguruan tinggi di Kendari. Kira - kira usiaku 20 tahun. Suamiku adalah seorang kepala personalia sebuah perusahaan swasta. Terus terang saja, aku tidak mengenal wataknya. Bayangkan, bertemu pun baru satu minggu menjelang pernikahan. Aku semula menolak, namun karena nasihat ibuku, akhirnya aku terima.

Tahun 1990 aku menikah. Setelah itu, aku diboyong oleh suamiku yang usianya sekitar 10 tahun lebih tua dariku ke rumah orang tuanya. Di sini kami merasakan pahit manisnya berumah tangga dan Cerita ku mulai disini.

Oh ya, nama suamiku adalah Bahar (bukan nama sebenarnya). Sebulan setelah menikah, barulah aku mulai tahu sifat suamiku yang ternyata terlalu kekanak-kanakan. Maklum saja, dia adalah anak tunggal. Bahkan, dia tidak pernah protes ketika kedua orang tuanya ikut-ikutan dalam urusan rumah tangga kami. Sebagai orang tua, kalau ada masalah di rumah tanggaku, mereka selalu menyalahkanku aku, tanpa melihat permasalahannya. Aku acapkali jadi "terdakwa" dalam "persidangan" mereka.

Mungkin karena pada dasarnya aku tak mencintainya, aku selalu protes setelah 'disidang'. Aku tak mau terima diperlakukan seperti itu. Sebagai suami, seharusnya Bahar lebih dewasa dariku. Masa masalah rumah tangga, sekecil apapun itu, selalu dilaporkan pada orang tuanya.

Apalagi kalau aku berbuat salah. Wah, bisa tiga hari tiga malam aku kena omelan mertua. Berbagai nasihat akan dikeluarkan mereka secara bergantian. Aku dibuatnya tak berkutik. Mulutku sudah pegal menyunggingkan senyum keramahan. Sementara dadaku bergolak karena marah.

Suatu hari aku kena 'semprot' lagi. Gara-garanya, aku kesal sama anakku yang menangis terus-menerus. Aku marahi dia. Tapi tidak sampai memukul. Tiba-tiba, Bahar menghampiriku. Diraihnya anakku dengan sedikit kasar. Kukira dia ikut mengomeli anak itu. Nyatanya, dia malah memarahiku. "Bukan begitu mengajari anak. Kamu ini bisa apa tidak sih mengurus anak?" katanya sembari ngeloyor pergi.

Mungkin caraku ngajari anak kurang benar, tapi seharusnya Bahar memahami aku yang capek seharian mengasuh dia. Aku marah saking lelahnya.

Dan lagi-lagi aku 'diadili'. Bahar mengadukan masalah itu kepada kedua orang tuanya. Aku muak dengan mulutnya yang nyinyir. Aku minta cerai kepada Bahar, tapi dia menolak. Karena tak tahan, aku nekat kabur dari rumah membawa putriku. Kami kembali ke rumah orangtuaku, sampai sekarang
[sumber:konseling.net]